Minggu, 22 Februari 2015

Rindu

Kutitipkan rasa rindu yang sangat dalam untuk dunia tulis-menulis yang dulu sangat tekun kudalami. Dunia yang dulu menjadi tempatku mengeluarkan segala pikiran dan unek-unek dan sudah kutinggalkan selama beberapa lama.

Kehilangan selera... entahlah, rasanya setiap hari sangat banyak hal yang lewat didalam pikiranku menanti untuk kuceritakan. Biasanya aku akan sangat bersemangat untuk mulai menuliskannya pada secarik kertas dibuku pribadiku. Namun beberapa tahun terakhir ini, aku membiarkannya hanya lewat saja. Seperti menikmatinya hilang sedikit demi sedikit dari memori otakku dan senang membiarkannya hanyut semakin dalam ditimpa oleh memori-memori penting masalah perkuliahan yang perlahan-lahan semakin memenuhi kepalaku.

Kehabisan kata-kata... mungkin iya, tapi rasanya aku masih sering berbicara sendiri didalam pikiranku dan menyusun kata-kata indah yang menanti untuk disuarakan. Tapi mulutku terlalu sibuk untuk membiarkan kata-kata itu keluar seolah area khusus pengatur bicara di kepalaku lebih memilih untuk memproses kata-kata jargon medis dan kawan-kawan nya yang kuyakin juga kau tidak ingin mendengarkannya dibandingkan mengeluarkan untaian kata indah yang menyejukkan.

Yang pasti aku sangat rindu untuk bertemu kembali dengan kertas putihku, dengan layar polos yang menanti untuk dituangi pengalaman-pengalaman hidup yang aku yakin sudah cukup untuk dibuat sebuah trilogi mengenai petualangan seorang anak gunung yang dulu tinggal di pinggiran sebuah danau yang indahnya tidak terlukiskan namun harus pergi melanjutkan hidup kekota lain untuk berjuang menjadi seseorang yang katanya mampu mengobati penyakit dan disebut manusia setengah dewa yang dipanggil dokter itu.

Tiga setengah tahun aku pergi menjauh dan kini aku menyampaikan betapa aku rindu, sangat-sangat rindu untuk kembali. Terkadang timbul iri dihati melihat kawan-kawan seperjuanganku yang masih bisa menyempatkan waktunya untuk bertemu sahabat putihnya dan menyuarakan pikirannya. Mengapa aku sendiri sangat sulit rasanya? Entahlah, mungkin aku sudah terlalu tertawan oleh kewajiban-kewajiban hidup dan dibutakan oleh indahnya perasaan menikmati dunia dengan hanya sekilas lewat tanpa perlu diabadikan. Mungkin hatiku menginginkan yang lain? Bisa jadi, tapi ketika aku menuliskan pesan ini, aku merasakan perasaan cinta mula-mula yang dulu kurasakan ketika aku menyelesaikan cerita pertamaku. Aku juga merasakan masih hati yang berdebar ketika aku membayangkan pesan ini akan dibaca oleh orang lain dan menikmati khayalan akan bagaimana perasaan mereka ketika membacanya.

Ah, aku rasa  aku masihlah diriku yang dulu, aku kecil yang lebih memilih untuk menyimpan memori satu hari ku dan menuliskannya menjadi sebuah pesan, masihlah aku yang lebih menikmati kata-kata dibandingkan tindakan-tindakan nyata. Aku yang masih sama harus berubah menjadi aku lain demi tuntutan keadaan.


Aku rasa saatnya aku kembali ke diriku yang dulu. Aku yang lebih banyak menulis walau tak seindah syair-syair pujangga terkenal namun memberikan terapi hebat yang sangat efektif untuk diriku. Karena hanya disaat sepertiitu aku merasa aku adalah diriku sendiri. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;