Minggu, 22 Februari 2015 0 komentar

Hidup sebagai Dokter Muda

Akhirnya saya bisa menulis lagi, oke selalu bilang begitu setiap tahun. Entah mengapa saya hanya menulis diawal-awal tahun saja. Mungkin karena menulis selalu jadi resolusi akbar yang saya tuliskan diawal tahun namun pada akhirnya berakhir menjadi resolusi saja. Panas diawal kalau kata orang-orang.

Anyway, sekarang saya sudah memasuki babak baru kehidupan. Masih jadi mahasiswa namun dengan level yang sedikit lebih tinggi. Ya saya sudah sarjana, sarjana kedokteran yang kalau kata teman-teman seangkatan saya, tukang siomay saja tidak terima pegawai dengan gelar sarjana kedokteran hehe. Sarjana kedokteran kalau digolongkan kedalam beberapa golongan sarjana berdasarkan kegunaan gelarnya, sarjana jenis ini masuk ke jenis sarjana-sarjana tanggung. Tipe sarjana yang sudah sarjana, namun ilmunya masih sebatas teori saja dan kalau harus disuruh bekerja sesuai bidangnya masih belum bisa karena ilmunya belum pernah diamalkan secara langsung. Manusia setengah dokter namun belum bisa disebut dokter karena memang belum bisa memegang pasien secara langsung.

Untuk menjadi seorang dokter dan benar-benar bisa memegang pasien (tidak wajib kok, kalau memang habis sarjana kedokteran mau langsung bekerja di bank juga boleh), saya harus lewat satu tahap pendidikan lagi yang secara terhormatnya disebut dokter muda tapi lebih terkenal di bumi dengan sebutan koas dan dipanggil dek koas. Hidup saya sekarang disibukkan dengan kegiatan koas yang statusnya sih kuliah tapi rasa bekerja, kerja tapi sebenarnya saya disitu masih kuliah.

Jangan kira dengan menjadi koas berarti saya bebas memeriksa pasien, menentukan dia penyakit apa lalu memberikan obat. Saya masih berstatus mahasiswa yang menjadi pendamping dokter dalam memeriksa pasien. Saya harus mendengarkan proses interaksi dokter-pasien yang terjadi dan mencoba belajar dari situ. Tidak cukup hanya itu saja, saya juga tetap harus masih mengerjakan tugas-tugas laporan, membuat paper dan presentasi dan persiapan untuk ujian. Jadi jangan kira kehidupan koas lebih indah dari kehidupan kuliah sarjana kedokteran seperti yang dulu selalu saya lakukan. Mengeluhkan kehidupan kuliah dan berharap cepat-cepat koas. Sekarang sih, sangat jelas saya sering berharap kalau saya masih ada di Jatinagor dan menikmati masa-masa yang dulu saya anggap terlalu serius dan mencoba untuk lebih menikmati hidup.

Tapi saya percaya dengan prinsip dibalik kesusahan ada kebahagiaan kecil yang bisa diambil. Dibalik rasa penat dan lelah rutinitas setiap hari, ada senyum yang menghibur dikala saya bisa membantu seorang nenek yang membutuhkan bantuan arah ke ruang fisioterapi. Dibalik perasaan tergesa-gesa dan kecewa akan sistem belajar yang masih membingungkan buat saya, ada bahagia yang tak terkira melalui kata terima kasih yang terucap dari bibir seorang bapak yang anaknya saya tolong setelah mengalami kecelakaan minggu kemarin. Dibalik semangat yang sudah mulai kehabisan minyaknya, ada api-api kecil melalui ucapan semoga menjadi dokter yang hebat yang terus membangkitkan niat hati ini melalui harapan-harapan akan munculnya dokter baru yang siap membantu lebih banyak pasien emergensi lainnya. Dan yang pasti, ada iman yang selalu menjaga trek saya untuk selalu mengingat bahwa semua ini adalah bagian dari pelayanan hidup saya sebagai bentuk ucapan syukur makhluk yang sudah diciptakan dengan sedemikian kompleks oleh pencipta saya.

Sering saya merasa sedih karena saya tidak mampu berbuat banyak mengingat keterbatasan ilmu dan pengetahuan saya. Sering rasanya ingin menyerah melihat pasien yang harus saya tolong namun pada akhirnya berakhir dengan duka. Namun, semuanya selalu ditepis dengan pemikiran saya, bukankah saya harus melewati itu semua, bukankah semua itu proses belajar yang harus saya lalui? Melalui rasa kecewa dan sedih itu lah saya berusaha bangkit dan menjadi dokter yang semakin hari semakin baik. Yang terpenting adalah pastikan  jangan sampai hatimu mulai beku dan mulai menganggap semua pasien itu objek pembelajaranmu. Anggaplah mereka sebagai manusia seutuhnya yang membutuhkan pengetahuanmu, kasihmu, pelayananmu dan hatimu yang harus kau berikan seluruhnya untuk kesembuhan mereka.

Yang pasti saya sudah menemukan kembali api semangat yang dulu sempat hilang diawal-awal koas itu J


(perasaan saya setelah 3 minggu menjalani indahnya hidup perkoasan)
0 komentar

Rindu

Kutitipkan rasa rindu yang sangat dalam untuk dunia tulis-menulis yang dulu sangat tekun kudalami. Dunia yang dulu menjadi tempatku mengeluarkan segala pikiran dan unek-unek dan sudah kutinggalkan selama beberapa lama.

Kehilangan selera... entahlah, rasanya setiap hari sangat banyak hal yang lewat didalam pikiranku menanti untuk kuceritakan. Biasanya aku akan sangat bersemangat untuk mulai menuliskannya pada secarik kertas dibuku pribadiku. Namun beberapa tahun terakhir ini, aku membiarkannya hanya lewat saja. Seperti menikmatinya hilang sedikit demi sedikit dari memori otakku dan senang membiarkannya hanyut semakin dalam ditimpa oleh memori-memori penting masalah perkuliahan yang perlahan-lahan semakin memenuhi kepalaku.

Kehabisan kata-kata... mungkin iya, tapi rasanya aku masih sering berbicara sendiri didalam pikiranku dan menyusun kata-kata indah yang menanti untuk disuarakan. Tapi mulutku terlalu sibuk untuk membiarkan kata-kata itu keluar seolah area khusus pengatur bicara di kepalaku lebih memilih untuk memproses kata-kata jargon medis dan kawan-kawan nya yang kuyakin juga kau tidak ingin mendengarkannya dibandingkan mengeluarkan untaian kata indah yang menyejukkan.

Yang pasti aku sangat rindu untuk bertemu kembali dengan kertas putihku, dengan layar polos yang menanti untuk dituangi pengalaman-pengalaman hidup yang aku yakin sudah cukup untuk dibuat sebuah trilogi mengenai petualangan seorang anak gunung yang dulu tinggal di pinggiran sebuah danau yang indahnya tidak terlukiskan namun harus pergi melanjutkan hidup kekota lain untuk berjuang menjadi seseorang yang katanya mampu mengobati penyakit dan disebut manusia setengah dewa yang dipanggil dokter itu.

Tiga setengah tahun aku pergi menjauh dan kini aku menyampaikan betapa aku rindu, sangat-sangat rindu untuk kembali. Terkadang timbul iri dihati melihat kawan-kawan seperjuanganku yang masih bisa menyempatkan waktunya untuk bertemu sahabat putihnya dan menyuarakan pikirannya. Mengapa aku sendiri sangat sulit rasanya? Entahlah, mungkin aku sudah terlalu tertawan oleh kewajiban-kewajiban hidup dan dibutakan oleh indahnya perasaan menikmati dunia dengan hanya sekilas lewat tanpa perlu diabadikan. Mungkin hatiku menginginkan yang lain? Bisa jadi, tapi ketika aku menuliskan pesan ini, aku merasakan perasaan cinta mula-mula yang dulu kurasakan ketika aku menyelesaikan cerita pertamaku. Aku juga merasakan masih hati yang berdebar ketika aku membayangkan pesan ini akan dibaca oleh orang lain dan menikmati khayalan akan bagaimana perasaan mereka ketika membacanya.

Ah, aku rasa  aku masihlah diriku yang dulu, aku kecil yang lebih memilih untuk menyimpan memori satu hari ku dan menuliskannya menjadi sebuah pesan, masihlah aku yang lebih menikmati kata-kata dibandingkan tindakan-tindakan nyata. Aku yang masih sama harus berubah menjadi aku lain demi tuntutan keadaan.


Aku rasa saatnya aku kembali ke diriku yang dulu. Aku yang lebih banyak menulis walau tak seindah syair-syair pujangga terkenal namun memberikan terapi hebat yang sangat efektif untuk diriku. Karena hanya disaat sepertiitu aku merasa aku adalah diriku sendiri. 
 
;