Kamis, 15 November 2012

Untukmu... (Part 1)

Aku masih ingat saat SMA dulu. Di belakang kelas, aku pernah cerita ke kamu kalau aku bisa masuk ke perguruan tinggi negeri, aku janji mau berusaha lebih keras dan merubah sifat-sifat aku yang kurang baik. Aku mau mengubah pandangan orang kepadaku yang hanyalah seorang anak yang nakal dan malas belajar. Kehidupanku semasa SMA bisa dibilang sangat tidak baik. Hidupku terasa begitu nyaman dan tenag. Bagiku sekolah hanyalah langkah-langkah kecil untukku bisa mencapai dan mendapatkan apa yang aku inginkan. Termasuk jadi mahasiswa. Jadilah aku masuk ke sekolah kita. Sekolah berasrama yang awalnya sangat tidak kuinginkan. Karena ya..kau sendiri pasti tahu bagaimana sifatku yang tidak mau diperintaha taupun diatur. Bukankah pernah kukatakan kepadamu, mahasiswa bukanlah cita-cita yang paling aku inginkan. Tapi bisa hidup berdua saja denganmu. Ya... bersama Tuhan pastinya dan kalau kau mau bersama beberapa orang anak-anak yang akan menemani masa tua kita. Bersamamu dimana aku bisa bebas menceritakan semuanya karena aku tahu, kau tidak pernah menolak untuk mendengarkan cerita-ceritaku, tidak pernah menghindar saat aku memintamu menemuiku, bahkan tidak pernah marah saat aku harus mengucapkan kata-kata yang mungkin menyakiti hatimu. Sungguh aku sangat bahagia bisa memilikimu.

Kamu adalah penghibur, malaikat, sahabat bagiku. 
Setiap aku bertemu denganmu dan melihatmu, jauh didalam hatiku aku selalu bersyukur bisa menemuimu, bisa mengenalmu, bisa berbicara dan berbagi kisah hidupku denganmu. 
Sungguh anugerah luar biasa bisa melihatmu.

Dulu aku juga pernah cerita, aku mau memilih kedokteran sebagai tempatku melanjutkan mencari potongan keping-keping puzzle kehidupanku yang sedang aku coba susun sebaik mungkin. Saat itu aku tidak bisa memberikanmu alasan yang jelas kenapa aku memilih kedokteran, dan kau hanya bisa tertawa mendengarku sambil menatapku sinis seolah menunjukkan keraguanmu atas kesombonganku. Saat aku berkata juga kalau aku memilih bandung karena aku yakin tempat itu adalah tujuanku yang tepat, tawamu semakin keras sambil mengatakan keherananmu kepadaku. 

"Aku heran kau mau melanjut ke kedokteran. Tapi okelah, orang bodoh juga bisa bermimpi. Tapi kau bilang kau mau kuliah di Bandung? Apa kau gila? Sudah ambil USU saja!!"

                                    *******

Kita sudah bersama selama 4 tahun. Bukan waktu yang sebentar tapi belum bisa dibilang lama. Semenjak pertama aku melihatmu, kau tidak pernah berubah sedikitpun. Tetap dengan kesederhanaanmu, kepolosanmu, ketegaranmu, kebaikanmu dan kesabaranmu menghadapiku selama 3 tahun kehidupan kita bersama. Kau sosok yang sangat pintar. Kau mampu memberikan jawaban atas setiap pertanyaanku. Sedangkan aku, aku hanyalah anak malas, anak bermasalah yang hanya mampu tidur saja disekolah, bagiku guru bukan siapa-siapa, melanggar peraturan menjadi makananku sehari-hari. Aku bukanlah siswa yang baik. Aku hanya selalu menjadi beban bagi siapapun yang menemuiku.

"Mimpi tidak bisa ditentukan oleh siapapun, 
tidak bisa dibatasi oleh apapun, tidak oleh langit, tidak oleh dasar lautan yang dalam.
Kematian satu-satunya hal yang bisa memisahkanmu dari mimpimu.
Jadi jangan takut bermimpi. 
Mimpimu tidak berbatas bintang dilangit.
Batasnya adalah dirimu sendiri. 
Saat kau berhenti bermimpi, batasan mimpimu sudah kau capai.
Jadi jangan berhenti bermimpi..."

Tapi apakah kau ingat cerita kita tepat sehari sebelum UJian Nasional?. Aku bercerita tentang keberuntungan yang kudapat saat aku bisa masuk ke kelas akselerasi walau akhirnya kulepas demi masuk asrama - tapi jadi keputusan yang paling kusyukuri karena aku bisa bertemu denganmu - dan keberuntungan - keberuntungan lain yang terus kuterima termasuk nilai-nilaiku yang bisa masuk jajaran bintang kelas padahal kau tahun betapa malasnya aku belajar, nilai ujian-ujian yang pas-pasan terutama Fisika dan Kimia yang melihat kertas ujiannya saja aku tidak mau. Termasuk saat Ujian Nasional. Tapi aku tidak pernah mencontek, ingat itu.

Hingga tibalah hari itu. Hari dimana datang pengumuman mengenai seleksi undangan. Saat aku datang kepadamu dan meberitahukan kabar ini, dengat semangat kau menganjurkanku untuk mengikutinya. Berbeda 180 derajat saat dulu kau tertawa saat mendengar keinginanku. Saat itu sungguh aku berpikir betapa berharganya dirimu bagiku. Aku sendiri masih ragu, apa mungkin dengan nilai pas-pasan itu aku bisa lulus. Kau bilang "PASTI" dan aku pun mengikuti seleksinya... Untukmu... Kalau kau masih ingat, aku mendaftar tanpa memberitahu orangtuaku karena takut mengecewakan mereka. Dengan uang sakuku sendiri aku mendaftar dan memilih pilihan seperti yang dulu kuceritakan kepadamu. Kau datang dan menyemangatiku. Sungguh mulia hatimu.
     
                                                       *******
Bagiku biologi bukanlah pelajaran yang mudah. Matematika adalah jodohku seperti kataku bangga saat kita duduk berdua saja sore saat gerimis kala itu.  Namun aku masih belum tau kenapa aku tidak memilih menjadi guru matematika dan malahan memilih kedokteran. Aku sendiri masih belum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Hari itu, malam itu, saat pengumuman hasil seleksi undangan diumumkan dan aku lulus. Ya lulus, dan bukan sekedar lulus. Lulus ke fakultas Kedokteran . Bukan cuma itu, di Bandung. Dua mimpiku lagi-lagi dijawab Tuhan dan aku yakin itu keberuntungan.  Orang pertama yang kuhubungi adalah kau, bukan orang tuamu. Dan kau langsung menangis membuatku tidak mengerti. Air matamu, air matakebahagiaanmuatas diriku, bagiku lebih dari apapun yang aku inginkan di dunia ini sebagai hadiah atas kelulusanku. Dan saat aku mengatakan aku harus ke Bandung, yang artinya kita harus berpisah, kau bukannya sedih malah merasa gembira dan bersemangat untuk persiapan kepergianku. Sungguh aku bingung. Siapa kau ini sebenarnya.







0 komentar:

Posting Komentar

 
;